
Ekonom senior Faisal Basri menilai dampak program biodiesel 30 persen (B30) yang dijalankan pemerintah, tidak terbukti dapat menghemat keuangan negara atau APBN. Menurutnya, kebijakan subsidi biodiesel ini mengulang kebijakan subsidi untuk solar dulu, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi. "Artinya, kebijakan subsidi ini hanya berpindah dari yang dulunya subsidi solar untuk produsen minyak luar negeri ke subsidi biodiesel untuk pengusaha biodiesel dalam negeri," kata Faisal saat launching dan bedah Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat Dalam Bisnis Biodiesel, yang ditulis Selasa (1/2/2022).
Faisal menyebut, pemerintah bilang langkah penggunaan biodiesel untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangannya membaik. Namun, kata Faisal, kebijakan tersebut salah karena pengurangan impor solar dengan digantikan dengan biodiesel maka ekspor CPO juga turun dan dampaknya ini perlu dihitung. Faisal juga mempersoalkan klaim pengusaha yang menilai dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) merupakan dana dari pengusaha sawit lewat potongan ekspor dan harus dikelola pengusaha.
Menurut Faisal, klaim ini sesuatu yang sangat aneh, seolah olah ada negara di dalam negara. "Sebanyak 40 persen dari dana sawit itu justru dari sawit rakyat, oleh karena itu harus ada ketidakterwakilan petani secara resmi dalam struktur BPDPKS, untuk mengarahkan kepada program peremajaan sawit dan program lainnya," tuturnya. Penulis buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis Biodiesel, Ferdy Hasiman menyampaikan, salah satu inti persoalan yang terjadi dalam program biodiesel terdapat pada sisi pembagian kuota yang menunjukkan terjadinya kolusi.
"Industri sawit berbeda dengan industri besar lainnya, dimana monopoli perusahaan besar tidak terlalu besar," ucapnya. Dari aspek kepemilikannya lahan, kata Ferdy, sebesar 51 persen dimiliki grup grup besar nasional dana asing dan 7 persenBUMN, kemudian 40 persen lahan dimiliki petani sawit. Menurutnya, jika diperhatikan secara keseluruhan, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang disektor hilir dalam mendorong biodiesel berkelanjutan.
"Sehingga sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya bukan hanya dipasok dari produsen produsen biodiesel yang sudah ditentukan kuotanya oleh negara tetapi juga dari petani swadaya," ujar Ferdy. Namun, Ferdy melihat realita nasib petani dan korporasi sangat berbeda, karena kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit dan selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan politik. "Ini yang disebut kekuatan oligarki dan bisnis orang kuat. Pemerintah hanya memberikan kuota kepada 18 perusahaan sawit. Sementara ruang bagi petani sawit untuk menjual ke korporasi yang mendapat alokasi tersebut sampai sekarang sangat tidk jelas," paparnya.
"Jadi dalam proses lelang juga tidak ada transparansi dalam prosesnya hanya ada penunjukan langsung untuk mendapatkan kuotanya, sehingga kolusinya terjadi dalam proses tersebut," sambung Ferdy. Ia pun menyebut, program biodiesel juga masih menyisahkan persoalan di lapangan, terutama dalam pemakaian biodiesel masih ada hambatan dalam distribusi di lapangan. "Di sektor hulu, semakin meningkat proyek biodiesel maka lahan yang akan diambil akan semakin luas yang berdampak pada deforestasi," katanya.
Caption Ekonom senior Faisal Basri (memakai topi) saat launching dan bedah Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat Dalam Bisnis Biodiesel.